Klien saya sepasang
suami istri, masih muda dan sehat serta tampak wajah kecemasan dan gerah dengan
anaknya, mereka datang untuk berkonsultasi dan berniat untuk mengambil sesi
terapi untuk anaknya. Ada apa dengan anaknya? Rudi, sebut saja seperti itu. Anak
laki-laki pertama dari keluarga tersebut berusia sekitar 9 tahun. Dia sangat
bermasalah dengan ketakutannya. Takut sendiri, takut ditinggal, hal ini cukup
menganggu dimana usianya sudah masuk kelas 4 SD. Orang tuanya mengeluhkan anak
ini tidak bisa di tinggal, selalu ingin ditemani, sang ibu mengeluh, dipikirnya
semakin dewasa akan semakin berani, ternyata tidak. Semakin menjadi dan
cenderung menyulitkan keseharian aktivitas orang tuanya. Anda pernah merasakan
hal ini? Apa yang anda rasakan? Mau marah, jengkel, tetapi ini adalah anak
kita, serba salah bukan?
Ping! Ping! BlackBerry
saya jam lima pagi sudah dipenuhi kepanikan seorang ibu yang kuatir berat.
Dengan mata yang berat, saya melihat ada apa dengan BlackBerry saya, kok pagi
begini ada yang “nge-ping”. Isinya darurat, rupanya “mawar foto telanjang”.
Separuh jiwa saya rasanya seperti dipukul, bangun belum seutuhnya sudah diberi
kabar bahwa anak klien saya berusia 13 tahun sudah foto telanjang.
Orang tuanya berharap
saya bisa diajak komunikasi saat itu juga, sambil berjalan keluar dan
mengumpulkan kesadaran saya, 10 menit kemudian saya menghubunginya. Diujung
sana, tanpa banyak bicara terdengar isak tangis seorang ibu, tidak bisa bicara
dan akhirnya telepon diserahkan kepada suaminya, dan suaminya berbicara seputar
kejadian yang memalukan tersebut. Ada apa dan kenapa semua ini bisa terjadi?
Ingat tidak ada asap tidak mungkin ada api. Asapnya sudah anda ketahui, apinya?
Apa sih yang menyebabkan hal ini terjadi? Kita akan belajar bersama tentang
hal-hal praktis yang melatarbelakangi kenapa masalah-masalah anak ini terjadi.
Apakah anak dilahirkan
untuk menjadi anak seperti ini (bermasalah)? Apakah setiap anak akan menjadi
seperti ini? Jawabannya adalah tidak. Banyak sekali orang tua tidak tahu
bagaimana memperlakukan dan mendidik anaknya dengan baik dan benar, karena
menjadi orang tua tidak ada sekolahnya. Tidak ada sekolahnya tetapi sangat
dibutuhkan ilmu menjadi orang tua yang baik, pada awalnya saya juga mengalami
fase ini. Menjadi orang tua yang tidak tahu apa-apa, hanya punya 3 jurus jika
ada masalah anak. Apa 3 jurus favorite orang tua yang putus asa ini:
Ancam : “awas ya kalo
kamu begitu lagi”, “kamu tidak akan ikut jalan-jalan”, “kamu kalau begitu bukan
anak mama” ini adalah hal umum yang sering kita dengar.
Marah Dengan Teriakan :
“dasar BODOH!!”, “PERGI!!”, “KELUAR!!”
Pukul : langsung pukul
tanpa penjelasan yang perlu saya perjelas.
Pertanyaan saya, apakah
kita tahu hasilnya jika anak dibesarkan dengan cara seperti ini? Mari kita
perjelas satu persatu jika anak yang konsisten dididik dengan cara seperti ini,
10-15 tahun kedepan apa jadinya kehidupannya di masa depan.
1. Anak yang dididik
dibawah ancaman
“Kalau kamu tidak mau
membersihkan kamarmu, semua mainanmu papa kasih ke orang lain!” anak seperti
ini akan belajar hidup meneror, teman bahkan kelak pasangan hidupnya. Karena
dia belajar untuk memenuhi kebutuhannya adalah dengan cara mengancam, seperti
orang tuanya ingin mendidiknya (karena ketidaktahuannya) dengan baik dan
membentuk perilakunya dengan ancaman. Disamping itu anak juga akan belajar
melawan yang biasanya bertumbuh sesuai usianya, jika masih kecil melawannya
kecil, jika sudah besar maka perlawanan besar.
Bisakah kita mencetak
orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Kita adalah
generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan
bercincin, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,
sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata
ancaman: Awas..; Kalau..; Nanti..; jika ini terus diulangi pada generasi anak
kita maka yang terjadi adalah generasi sakit hati, dan generasi peneror. Ini
adalah generasi yang akan mewariskan sakit hati dan perilaku meneror pada anak
cucu kita dan orang-orang yang dicintainya.
Ada dua akibat penting
dari sering mengacam anak. Anak akan belajar berbohong karena ketakutan diancam
dan anak akan jadi anak yang penakut, dan sampai besar pun akan membawa
sikap-sikap ini. Dan percayalah, pada beberapa kasus klinis yang saya tangani,
sampai besar pun anak-anak yang sering diancam tetap akan hidup dalam ancaman.
Baik dari rekan kerja, bahkan pasangannya.
Sebenarnya ada
alternatif lain selain memberikan ancaman kepada anak. Coba kita perhatikan
beberapa diantaranya:
Ajukan pilihan.
“Rapikan kamarmu sekarang supaya waktu menontonmu lebih lama, atau rapikan
nanti dan kamu tidak bisa menonton acara favoritmu sama sekali.”
Beri batasan. “Sepuluh
menit lagi mama akan bereskan meja makannya, kalau kamu tidak makan sekarang,
kamu bisa makan nanti malam saja.”
Tetapkan aturan main:
apa saja tugas atau kewajiban anak dan konsekuensinya jika ia tidak
memenuhinya. Lakukan ini di awal sebelum ada pelanggaran, sehingga anak sudah
tahu akibat yang akan ditanggungnya. Jadi, anda tidak lagi perlu mengancam,
cukup mengingatkan saja!
2. Dampak dari
berteriak kepada anak
Ada sebuah cerita
bagus, salah satu kebiasaan yang ditemui pada penduduk yang tinggal di sekitar
kepulauan Solomon, yang letaknya di Pasifik Selatan. Nah, penduduk primitif
yang tinggal disana punya sebuah kebiasaan yang menarik yakni meneriaki pohon.
Untuk apa hal tersebut
dilakukan? Kebisaan ini ternyata mereka lakukan apabila terdapat pohon dengan
akar-akar yang sangat kuat dan sulit untuk dipotong dengan kapak. Inilah yang
mereka lakukan, dengan tujuannya supaya pohon itu mati. Caranya adalah, beberapa
penduduk yang lebih kuat dan berani akan memanjat hingga ke atas pohon itu.
Lalu, ketika sampai di atas pohon itu bersama dengan penduduk yang ada di bawah
pohon, mereka akan berteriak sekuat-kuatnya kepada pohon itu. Mereka lakukan
teriakan berjam-jam, selama kurang lebih empat puluh hari. Dan apa yang terjadi
kemudian sungguh sangat menakjubkan.
Pohon yang diteriaki
itu perlahan-lahan daunnya mulai mengering, ini fakta! Setelah itu
dahan-dahannya juga mulai rontok dan perlahan-lahan pohon itu akan mati dan
mudah ditumbangkan. Wow, kalau diperhatikan apa yang dilakukan oleh penduduk
primitif ini sungguhlah aneh.
Kita bisa belajar satu
hal dari mereka. Mereka telah membuktikan bahwa teriakan-teriakan yang
dilakukan terhadap makhluk hidup seperti pohon akan menyebabkan benda tersebut
kehilangan rohnya. Akibatnya, dalam waktu singkat, makhluk hidup itu akan mati.
Nah, sekarang, yang jelas dan perlu diingat bahwa setiap kali anda berteriak
kepada mahkluk hidup tertentu maka berarti anda sedang mematikan rohnya.
Pernahkah anda berteriak pada anak anda? Seperti: Ayo cepat! Dasar lelet! Bego
banget! Begitu saja tidak bisa! Jangan main-main disini! Berisik!
Minder, takut berbuat
salah, harga diri rendah, tertutup, bahkan menjadi pemarah adalah anak yang
dibesarkan dengan cara seperti ini. Bentakan bukan solusi, bentakan dan
teriakan adalah bentuk ketidakmampuan orang tua dalam menghadapi perilaku anak.
Jadi apa solusinya? Belajarlah mengendalikan perilaku anak. Hal apa yang perlu
dipelajari?
Pahami kepribadian anak
dan bagaimana berkomunikasi, pelajari tehnik mendisiplinkan anak, semuanya ada
di website ini.
3. Dampak dari memukul
anak
Anak yang sering
mendapatkan pukulan karena kemarahan orang tua atas sikap dan perilaku anak,
maka anak akan belajar satu hal penting, yaitu jika saya marah maka pukul.
Kenapa? Karena dia dibesarkan dan sering melihat orang tuanya yang marah lalu
memukul. Dari situ dia belajar, jika marah maka saya akan memukul. Maka jika di
sekolah ada anak yang sering memukul bisa jadi anak tersebut sering dipukul di
rumah.
Contoh kasus nyata,
sewaktu saya menjadi guru beberapa tahun silam. Klien saya sebut saja Dodi.
Dodi dibesarkan dengan penuh kekerasan dan kurangnya kasih sayang. Tidak jarang
Dodi menerima kekerasan fisik dari ibu dan ayahnya. Setiap hari sang ayah dan
ibu bekerja sampai larut, karena pada masa Dodi kecil kehidupan ekonomi
keluarga tidak begitu baik. Sehingga sewaktu Dodi kecil, kurang mendapatkan
kehangatan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Yang lebih parah sang ibu adalah
orang yang cukup tempramen. jika marah pada Dodi, maka dengan mudahnya dia
melampiaskan emosi tersebut dengan hukuman fisik (pukul), ini berlangsung
sampai Dodi berumur 11 tahun (kelas 5 SD).
Orang tua merasa
mencintai Dodi dengan memberikan berbagai fasilitas dan pemenuhan materi
semata, tetapi Dodi tidak merasakan cinta yang orang tua berikan. Perasaan
sebagai anak yang dicintai oleh orang tuanya tidak ada. Perasaan iri terhadap
adiknya terus membayangi Dodi, karena adiknya selalu mendapat perhatian lebih
dari orang tuanya, hanya karena sang adik memiliki kesamaan minat dengan sang
ayah yaitu otomotif.
Setiap harinya Dodi
selalu diantar-jemput kesekolah dengan ayahnya manggunakan mobil. Satu waktu
Dodi sempat ke sekolah dan pulang berjalan kaki, jarak dari rumah ke sekolah
sekitar 10 kilometer begitu sampai sekolah dia sudah kelelahan, terkadang jika
terlambat ,dia masih harus mendapat konsekuensi lagi dari sekolah. Hal ini
terjadi selama 2 minggu. Apa yang menyebabkan tidak diantar oleh orang tuanya?
Hanya karena dia tidak mau mengambil piring kotor sisa makanan ayahnya di meja
makan. Perasaan dendam yang membara kepada sosok ayah ditumbuhkan dengan
sengaja oleh seorang ayah yang tidak mengerti kondisi tumbuh kembang anak.
Hingga akhirnya saya
dapat kabar dari ibunya, di usia yang masih 14 tahun sang ayah di TKO dengan
satu kali pukulan tepat di rahang sebelah kiri oleh Dodi. Ini kisah nyata dan
mengenaskan. Anda sudah bisa menjawab bukan kenapa ini terjadi?
Dalam relasi sosial di
sekolah, tidak banyak teman yang suka dengan Dodi, karena dia memiliki cara
bergaul yang cukup “agresif”, jika bercanda suka memukul dan sentuhan fisik
yang menjurus kasar. Tidak jarang perkelahian terjadi berulang kali. Pihak
sekolah sudah memberikan banyak macam peringatan, dari panggilan orang tua
sampai skorsing selama 2 minggu tetap tidak mampu mengubah perilakunya. Dodi
mencari pengakuan untuk dirinya sendiri dengan menjadi orang yang menakutkan di
sekolah, lebih tepatnya “preman sekolah”. Menolak dan menentang peraturan sekolah
dan guru adalah hal yang sering terjadi dalam kesehariannya di sekolah. Tidak
sungkan pula Dodi mengumbar jika dia dewasa nanti kedua orang tuanya akan
disiksa, dan dimasukan ke dalam panti jompo.
Sampai tahap ini
masihkah anda berpikir bahwa memukul anak adalah solusi mendidik anak yang
tepat? Dalam kehidupan kita sehari-hari kita seringkali menjalankan sesuatu
karena pengkondisian masa lalu dan tidak pernah kita pertanyakan, sehingga
kualitasnya menjadi itu-itu saja. Kita pasrah dengan pengkondisian masa lalu
dan menjadi manusia robot. Hal ini terjadi di rumah, di kantor, di sekolah dan
di setiap aspek kehidupan kita. Kita seringkali melakukan sesuatu karena memang
sudah begitulah kebiasaannya. Bahkan dalam cara berpikir pun hal ini terjadi.
“Saya ini sekringnya cepat putus sehingga mudah marah, jadi jangan buat sesuatu
yang bisa meledakkan saya” atau “Saya tidak bisa pegang uang, kalau ada uang di
tangan pasti cepat habis. Ada saja alasan untuk mengeluarkan uang saat saya
pegang uang banyak” adalah beberapa contoh pengkondisian pikiran yang telah
menjadi keyakinan dalam diri seseorang. Ada banyak sekali contoh seperti diatas
dalam kehidupan kita.
Kita adalah makhluk
yang dibentuk oleh segudang pengalaman, seperangkat lingkungan serta
pengkondisian masa lalu. Kita bisa melakukan ketiga hal diatas (ancam, teriak,
pukul) karena apa? Karena kita dulu mengalami dan melihat. Mendidik anak
bagaikan rantai yang tidak putus, jika anda dibesarkan dengan cara dibentak, ya
anda akan membentak anak anda, sederhana bukan program itu tertanam dalam benak
anda.
Pahami dan resapi makna
kata ini, saat seseorang tetap meyakini pengkondisian seperti itu dalam dirinya
maka ia tidak berkembang dalam sebuah kesadaran diri. Ia hanyalah sebuah robot
masa lalu yang bergerak dimasa sekarang dan tanpa ada perubahan.
Pertanyaan saya, jika
anda boleh jujur. Apakah anda senang diperlakukan seperti ketiga hal diatas?
Pertanyaan yang sama, apakah anak juga senang diperlakukan hal yang sama?
Seperti judulnya Anak Pelengkap Derita Orang Tua, orang tua yang dahulu yang
menderita karena dibesarkan dengan cara yang salah, akan meneruskan hal ini
karena ketidaktahuan mereka. Kemungkinan juga orang tua seperti ini belum
menyelesaikan masalah dengan masa lalunya, dan masih terus menyimpan beberapa
kenangan pahit dimasa kecilnya dan terus terbawa hingga masa sekarang.
Menderita secara batin, serta terjadi konflik diri dalam menjalani kehidupan
sehari-hari. Anda kenal dengan orang semacam ini? Saya memiliki seorang kenalan
baik yang mengalami hal ini, yaitu diri saya sendiri.
Pada intinya semua
orang dewasa (guru) dan orang tua, kita semua ini, memegang peran sebagai role
model atau contoh dan panutan untuk anak-anak di sekitar kita, baik itu anak
kita sendiri atau bukan. Jadi walaupun secara formal kita bukan guru, tetapi
pada intinya kita semua adalah juga guru, seorang pendidik.
Ya, kita semua adalah
guru dan orang tua pada saat bersamaan, seorang pendidik untuk siapa saja yang
berada di sekitar kita dengan semua tindakan dan kata-kata kita.
Sehingga PENTING sekali
bagi kita untuk melakukan hal-hal yang akan mempertahankan bekal sukses penting
titipan Tuhan pada anak-anak kita, atau bahkan semakin menguatkan bekal sukses
dan kaya tersebut. Kini dijaman yang semakin maju dan modern hendaknya kita mau
terbuka dalam pemikiran, dan memahami tumbuh kembang anak dengan baik dan benar
agar generasi kedepan semakin baik dan mewariskan hal-hal yang memberdayakan.