Tujuh dari 10 Wanita Hamil Terkena Anemia
Di Indonesia
prevalensi anemia di kalangan pekerja memang masih tinggi. Studi mengenai
anemia pada pekerja wanita yang dilakukan di Jakarta, Tangerang, Jambi, dan
Kudus – Jawa Tengah membuktikan hal itu. Dilaporkan, anemia menurunkan
produktivitas 5 – 10% dan kapasitas kerjanya 6,5 jam per minggu. Anemia yang
menyebabkan turunnya daya tahan juga membuat penderita rentan terhadap
penyakit, sehingga frekuensi tidak masuk kerja meningkat. Maka benarlah bila
disimpulkan, anemia defisiensi zat besi sangat mempengaruhi produktivitas kerja
seseorang. Namun, menurut penelitian lain, produktivitas dapat ditingkatkan
sampai 10 – 20% setelah pekerja mendapat suplemen zat besi.
Pembentuk
sel darah merah
Pada
penderita anemia, lebih sering disebut kurang darah, kadar sel darah merah
(hemoglobin atau Hb) di bawah nilai normal. Penyebabnya bisa karena kurangnya
zat gizi untuk pembentukan darah, misalnya zat besi, asam folat, dan vitamin
B12. Tetapi yang sering terjadi adalah anemia karena kekurangan zat besi.
Proses kekurangan zat besi sampai menjadi
anemia melalui beberapa tahap. Awalnya, terjadi penurunan simpanan cadangan zat
besi. Bila belum juga dipenuhi dengan masukan zat besi, lama-kelamaan timbul
gejala anemia disertai penurunan Hb.
Gejala awal anemia zat besi berupa badan
lemah, lelah, kurang energi, kurang nafsu makan, daya konsentrasi menurun,
sakit kepala, mudah terinfeksi penyakit, stamina tubuh menurun, dan pandangan
berkunang-kunang – terutama bila bangkit dari duduk. Selain itu, wajah, selaput
lendir kelopak mata, bibir, dan kuku penderita tampak pucat. Kalau anemia
sangat berat, dapat berakibat penderita sesak napas, bahkan lemah jantung.
Zat besi yang terdapat dalam semua sel
tubuh ini berperan penting dalam berbagai reaksi biokimia, di antaranya
memproduksi sel darah merah. Sel itu sangat diperlukan untuk mengangkut oksigen
ke seluruh jaringan tubuh. Sedangkan oksigen penting dalam proses pembentukan
energi agar produktivitas kerja meningkat dan tubuh tidak cepat lelah.
Zat besi juga unsur penting dalam
mempertahankan daya tahan tubuh, agar kita tidak mudah terserang penyakit.
Menurut penelitian, orang dengan kadar Hb kurang dari 10 g/dl memiliki kadar
sel darah putih (untuk melawan bakteri) yang rendah pula.
Jumlah zat besi di dalam tubuh bervariasi
menurut umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis tubuh. Pada orang dewasa
sehat, jumlah zat besi diperkirakan lebih dari 4.000 mg, dengan sekitar 2.500
mg ada dalam hemoglobin. Di dalam tubuh sebagian zat besi (sekitar 1.000 mg)
disimpan di hati berbentuk ferritin. Saat konsumsi zat besi dari makanan tidak
cukup, zat besi dari ferritin dikerahkan untuk memproduksi Hb.
Jumlah zat besi yang harus diserap tubuh
setiap hari hanya 1 mg atau setara dengan 10 – 20 mg zat besi yang terkandung
dalam makanan. Zat besi pada pangan hewani lebih tinggi penyerapannya yaitu 20
– 30%, sedangkan dari sumber nabati hanya 1 – 6%.
Wanita lebih rentan
Sebenarnya, tubuh punya mekanisme menjaga
keseimbangan zat besi dan mencegah berkembangnya kekurangan zat besi. Tubuh mampu
mengatur penyerapan zat besi sesuai kebutuhan tubuh dengan meningkatkan
penyerapan pada kondisi kekurangan dan menurunkan penyerapan saat kelebihan zat
besi.
Begitupun, anemia tetap bisa menyerang,
bahkan siapa saja. Di antaranya mereka yang karena aktif, amat sibuk, dan punya
keterbatasan waktu, tidak bisa mengikuti pola makan yang memenuhi kebutuhan
akan zat besi.
Kemungkinan lain adalah meningkatnya
kebutuhan karena kondisi fisiologis, misalnya hamil, kehilangan darah karena
kecelakaan, pascabedah atau menstruasi, adanya penyakit kronis atau infeksi,
misalnya infeksi cacing tambang, malaria, tuberkulose atau TB (dulu dikenal
sebagai TBC).
Mereka yang berdiet pun terbuka
kemungkinan menderita anemia karena diet yang berpantang telur, daging, hati,
atau ikan. Padahal jenis pangan itu sumber zat besi yang mudah diserap tubuh.
Tak heran bila para vegetarian cenderung mudah menderita anemia. Apalagi
disertai kebiasaan tidak sarapan atau frekuensi makan tidak teratur tanpa
kualitas makanan seimbang.
Demikian pula pengidap gangguan penyerapan
zat besi dalam usus. Ini bisa terjadi karena gangguan pencernaan atau
dikonsumsinya substansi penghambat seperti kopi, teh, atau serat makanan
tertentu tanpa asupan zat besi yang cukup.
Wanita, terutama, perlu memberi perhatian
khusus pada anemia. Dimulai pada saat remaja mengalami haid di masa pubertas.
Di fase ini sangat diperlukan zat gizi cukup seperti zat besi, vitamin A, dan
kalsium. Sayangnya, akibat menstruasi ia harus kehilangan zat besi hingga dua
kali jumlah yang dikeluarkan pria.
Pada wanita dewasa dengan berat badan 55
kg, zat besi yang keluar lewat saluran pencernaan dan kulit atau kehilangan
basal berjumlah 0,5 – 1,0 mg per hari, atau umumnya sekitar 0,8 mg per hari.
Sedangkan jumlah zat besi yang hilang karena haid, pada 95% populasi adalah 1,6
mg per hari. Sehingga jumlah zat besi yang hilang akibat haid ditambah
kehilangan basal menjadi sekitar 2,4 mg per hari pada 95% populasi.
Tak heran bila wanita cenderung menderita
kekurangan zat besi karena hilangnya zat itu di kala haid tiap bulan tanpa
diimbangi asupan makanan yang cukup mengandung zat besi. Kehilangan zat besi
lewat haid pada wanita biasanya konstan, tetapi bervariasi jumlahnya di antara
kaum wanita. Dapat dimengerti bila beberapa wanita perlu zat besi lebih banyak
daripada wanita lain.
Penyebab lain adalah kecenderungan wanita
berdiet karena ingin mempertahankan bentuk tubuh ideal, tanpa mempertimbangkan
jumlah zat gizi penting yang masuk, terutama zat besi.
Selain menstruasi, kondisi rawan lain adalah
saat hamil dan menyusui. Anemia adalah masalah kesehatan dengan prevalensi
tertinggi pada wanita hamil. Prevalensi
anemia pada ibu hamil di
Indonesia adalah 70%, atau 7 dari 10 wanita hamil menderita anemia.
Pada trimester pertama kehamilan, zat besi
yang dibutuhkan sedikit karena tidak terjadi menstruasi dan pertumbuhan janin
masih lambat. Menginjak trimester kedua hingga ketiga, volume darah dalam tubuh
wanita akan meningkat sampai 35%, ini ekuivalen dengan 450 mg zat besi untuk
memproduksi sel-sel darah merah. Sel darah merah harus mengangkut oksigen lebih
banyak untuk janin. Sedangkan saat melahirkan, perlu tambahan besi 300 – 350 mg
akibat kehilangan darah. Sampai saat melahirkan, wanita hamil butuh zat besi
sekitar 40 mg per hari atau dua kali lipat kebutuhan kondisi tidak hamil.
Pada banyak wanita hamil, anemia gizi besi
disebabkan oleh konsumsi makanan yang tidak memenuhi syarat gizi dan kebutuhan
yang meningkat. Selain itu, kehamilan berulang dalam waktu singkat. Cadangan
zat besi ibu yang belum pulih akhirnya terkuras untuk keperluan janin yang
dikandung berikutnya.
Jadi, kebutuhan zat besi untuk tiap wanita
berbeda-beda sesuai siklus hidupnya. Wanita dewasa tidak hamil kebutuhannya
sekitar 26 mg per hari, sedangkan wanita hamil perlu tambahan zat besi sekitar
20 mg per hari.
Saat menyusui, meski biasanya wanita tidak
mengalami haid, ibu tetap kehilangan zat besi dan kalsium melalui ASI. Selain
kehilangan basal normal sekitar 0,8 mg, kehilangan zat besi melalui ASI
mencapai sekitar 0,3 mg per hari. Maka, ibu menyusui butuh tambahan zat besi 2
mg per hari serta kalsium 400 mg per hari.
Anemia pada ibu hamil bukan tanpa risiko.
Menurut penelitian, tingginya angka kematian ibu berkaitan erat dengan anemia.
Anemia juga menyebabkan rendahnya kemampuan jasmani karena sel-sel tubuh tidak
cukup mendapat pasokan oksigen. Selain itu, hewan percobaan yang bunting dan
kekurangan zat besi melahirkan anak-anak dengan daya tahan rendah terhadap
infeksi. Penyebabnya, sel fagosit yang bertugas menangkal bakteri infeksi tak
berfungsi maksimal.
Perhatikan pola makan
Penanggulangan anemia – terutama untuk
wanita hamil, wanita pekerja, dan wanita yang telah menikah prahamil – sudah
dilakukan secara nasional dengan pemberian suplementasi pil zat besi. Malah ibu
hamil sangat disarankan minum pil ini selama tiga bulan, yang harus diminum
setiap hari. Penelitian menunjukkan, wanita hamil yang tidak minum pil zat besi
mengalami penurunan cadangan besi cukup tajam sejak minggu ke-12 usia
kehamilan.
Sayangnya, cara ini memberikan efek
seperti mual, diare, dan lainnya. Maka, alternatifnya adalah mengkonsumsi
makanan yang diperkaya dengan zat besi, misalnya berbentuk susu atau roti.
Suplemen tablet besi memang diperlukan
untuk kondisi tertentu, wanita hamil dan anemia berat misalnya. Penderita
anemia ringan sebaiknya tidak menggunakan suplemen besi, lebih tepat bila
mereka mengupayakan perbaikan menu makanan. Misalnya, dengan meningkatkan
konsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi seperti telur, susu, hati,
ikan, daging, kacang-kacangan (tempe, tahu, oncom, kedelai, kacang hijau),
sayuran berwarna hijau tua (kangkung, bayam, daun katuk), dan buah-buahan
(jeruk, jambu biji, pisang). Perhatikan pula gizi makanan dalam sarapan dan
frekuensi makan yang teratur, terutama bagi yang berdiet.
Biasakan pula menambahkan substansi yang
memudahkan penyerapan zat besi seperti vitamin C, air jeruk, daging, ayam, dan
ikan. Sebaliknya, substansi penghambat penyerapan zat besi seperti teh dan kopi
patut dihindari.
Berkonsultasilah dengan dokter bila anemia
berkaitan dengan kesehatan, misalnya infeksi, penyakit kronis, atau gangguan
pencernaan.
Abstrak
Tingginya angka anemia di Propinsi Jawa Barat yang
diatas rata-rata angka Nasional dan esarnya jumlah ibu yang melahirkan dengan
kondisi anemia serta dampak yang ditimbulkannya, menyebabkan anemia masih
merupakan masalah besar yang sedang dihadapi pemerintah.
Untuk mengetahui hubungan antara terjadinya anemia
pada ibu hamil dengan frekuensi onsumsi
makanan (perilaku konsumsi makanan), maka dilakukan analisis lanjut data
sekunder Survei Cepat Anemi di Jawa Barat 1997, dengan memanfaatkan variabeI
perilaku konsumsi makanan (kelornpok heme, nonheme, pendorong dan penghambat)
dan menghubungkannya dengan kejadian anemia pada ibu hamil, serta factor lain
yang mempengaruhinya.
Jumlah sampel minimal untuk analisis lanjut dihitung
dengan kekuatan uji 90%, pada tingkat kepercayaan 95%, disain effect 2 dan Po =
62.5 serta IPo - Pal = 3 %, sehingga didapatkan jumlah sampel minimal sebesar
5654 orang dan dalam analisis lanjut digunakan 6679 sampel yang memenuhi syarat
dan sampel penelitian sebelumnya. alat bantu yang digunakan antara lain Epi
Info (merge data) versi 5.0, SPSS versi 5.0 (manajemen data dan uji univariat)
dan Stata versi 5.0 untuk analisis regresi logistik (uji bi dan multivariat).
Dari analisis lanjut terdapat kemungkinan hubungan
yang bermakna antara kejadian anemia pada ibu hamil dengan a) frekuensi
konsumsi sayuran hijau minimal 28 kali dalam sebulan, b) frekuensi konsumsi
jeruk minimal 4 kali dalam sebulan, c) tingkat pendidikan ibu (rendah/SLTP
kebawah, dan d) usia kehamilam trimester satu. Sementara itu tidak terdapat
kemungkinan hubungan yang bermakna antara kejadian anemia pada ibu hamil dengan
beberapa variabel lainnya.
Kemungkinan tidak bermaknanya beberapa variabel
tersebut antara lain karena perilaku konsumsi bahan makanan ibu hamil
(frekuensi bahan makanan) dalam sebulan yang masih rendah, bentuk pola menu
yang dikonsumsi oleh ibu hamil yang kebanyakan berpola nabati (nonheme) yang
banyak mengandung protein, serat, polyphenol dan pytat serta tanin, yang akan
dapat membentuk senyawa yang lebih komplek dengan zat besi, sehingga zat besi
menjadi sukar untuk diserap didalam tubuh, kemungkinan rendahnya cadangan zat
besi yang ada dalam tubuh, ditunjang pula dengan rendahnya konsumsi bahan
makanan pendorong, serta tingginya konsumsi faktor penghambat dan rendahnya
tingkat pendidikan, pengetahuan ibu tentang bahan makanan, pengetahuan ibu
tentang tablet tambah darah serta pemeriksaan ANC yang masih rendah, yang menyebabkan
seolah-olah frekuensi konsumsi bahan makanan bukan merupakan faktor penyebab
terjadinya anemia pada ibu hamil, disamping tidak diketahuinya dengan pasti
besar porsi (kuantitas) yang dikonsumsi setiap kali mengkonsumsi bahan makanan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak semua
bahan makanan kelompok heme, nonheme, pendorong dan penghambat yang mempunyai
kemungkinan hubungan dengan kejadian anemia, maupun dengan variabel - variabel
lainnya. Oleh karena itu perlu dilakukan pemasaran sosial bahan makanan kelompok
heme, nonheme, pendorong dan penghambat dan faktor faktor lain melalui program
JPS yang sedang diluncurkan pemerintah saat ini. Ini dimaksudkan untuk
mengatasi peningkatan kejadian anemia khususnya dan kesehatan ibu hamil pada
umumnya. Pemasaran sosial dengan menggunakan media komunikasi yang tepat dan
sesuai dengan kondisi ibu hamil serta tingkat materi yang mudah untuk dipahami,
diharapkan akan dapat memberi dampak yang lebih baik terhadap penurunana
kejadian anemia pada ibu hamil.
0 komentar:
Posting Komentar